DARI luar, melihat Iran seperti menyaksikan sebuah paradoks hidup: negara yang terus-menerus dikepung, namun tak pernah runtuh. Diserang, diisolasi, dikenai sanksi, dibom, dikhianati — dan tetap berdiri. Ketika bangsa lain tunduk demi bertahan hidup, Iran rela berdarah demi kedaulatan. Dan entah bagaimana, ia tetap bertahan. Lebih dari itu — ia bertahan dengan penuh kebanggaan.
Semua bermula pada tahun 1953, ketika Iran melakukan hal yang jarang berani dilakukan negara lain: Perdana Menteri Mohammad Mossadegh menasionalisasi minyak Iran. Ia mengusir British Petroleum (BP) dan menyatakan, “Kekayaan ini milik rakyat Iran.” Itu adalah tindakan berani. Itu adil. Dan bagi Barat, itu adalah dosa yang tak terampuni.
Maka mereka menyerang. AS dan Inggris melancarkan Operasi Ajax, menggulingkan Mossadegh, dan mengembalikan kekuasaan Shah — boneka jinak yang membuka kembali sumber daya Iran untuk dikontrol asing. Selama 25 tahun, rakyat diperintah melalui teror, penyiksaan, dan keserakahan — semuanya didukung oleh intelijen Barat.
Tapi Iran belum selesai.
Pada tahun 1979, rakyat bangkit. Dipimpin oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini, mereka menggulingkan monarki, mengusir Amerika, dan mendeklarasikan kemerdekaan — bukan hanya dalam kata, tapi juga dalam darah. Ini adalah revolusi sejati — bukan sekadar slogan, tapi pengorbanan.
Sejak saat itu? Dunia mencoba segalanya untuk membuat Iran tunduk kembali.
Delapan tahun perang dengan Irak. Sanksi yang melumpuhkan. Perang ekonomi. Serangan siber. Propaganda.
Dan ya — pembunuhan.
Mereka membunuh Jenderal Qassem Soleimani, pahlawan nasional. Mereka membunuh ilmuwan nuklir di siang bolong. Mereka mencoba menghancurkan Iran dengan memotong kepalanya, satu per satu. Negara lain pasti sudah hancur. Tapi Iran tidak.
Kenapa? Karena ini bukan negara yang disatukan oleh uang asing atau ideologi pinjaman. Ini negara yang disatukan oleh kenangan, luka, dan tujuan.
Hari ini, Ayatollah Ali Khamenei — penerus sejati visi Khomeini — memimpin negara yang ditakuti banyak pihak — bukan karena ancamannya, tapi karena penolakannya untuk berlutut. Dan di dunia yang dikuasai oleh negara-klien dan boneka korporasi, penolakan itu sangat kuat.
Kita tak harus jadi orang Iran untuk bisa merasakannya. Rasa iri yang dalam — kepada rakyat yang masih mengingat siapa diri mereka. Sebuah bangsa yang masih memilih kehormatan ketimbang kenyamanan, perlawanan ketimbang penyerahan, kedaulatan ketimbang keheningan.
Mereka telah menguburkan para syuhada mereka. Mereka telah menguburkan para pemimpin mereka.
Tapi mereka tak pernah menguburkan harga diri mereka.
Iran bukan hanya bertahan menghadapi sejarah — Iran menciptakan sejarah.
Dan dari luar, kita hanya bisa menyaksikan — dan bertanya-tanya bagaimana rasanya menjadi bagian dari sebuah negara yang tak pernah menjual diri.
Cuplikan Pidato Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, di Televisi Nasional:
“Setiap serangan AS akan membawa konsekuensi serius yang tak dapat diperbaiki. Entitas Zionis telah melakukan kesalahan besar dan akan dihukum atas tindakannya.
Bangsa Iran teguh menolak perang yang dipaksakan, dan juga akan dengan tegas menolak perdamaian yang dipaksakan. Bangsa ini tidak akan pernah menyerah pada tekanan.
Hanya yang bijak yang tahu bahwa bahasa ancaman tak berlaku terhadap rakyat Iran.
Mereka yang memahami sejarah dan karakter bangsa Iran tahu bahwa bahasa ancaman tidak akan berhasil.
Rakyat kami tidak akan tunduk pada perintah siapa pun juga.
Orang-orang Amerika harus memahami — intervensi militer apa pun pasti akan membawa kehancuran yang tak dapat dibalikkan.
Mereka harus tahu bahwa Iran tidak akan menyerah, dan setiap serangan AS akan membawa akibat yang serius dan tak dapat diperbaiki.
Perang dibalas dengan perang, pemboman dibalas dengan pemboman, dan serangan dibalas dengan serangan.”
(*)