Gelar guru besar menempati posisi istimewa dalam ekosistem pendidikan tinggi. Ia bukan sekadar puncak karier akademik, melainkan simbol otoritas keilmuan dan rujukan moral bagi dunia ilmu pengetahuan. Karena itu, setiap proses yang mengantarkan seseorang ke jenjang tersebut seharusnya tunduk pada prinsip integritas, akuntabilitas, dan keadilan akademik.
Namun, berbagai informasi yang berkembang dari lingkungan perguruan tinggi di Indonesia timur menunjukkan adanya persoalan serius dalam proses kenaikan jabatan guru besar. Pola-pola yang muncul, mulai dari sengketa kepengarangan, indikasi penggunaan penulis bayangan, hingga dugaan transaksi akademik yang tidak transparan, menandakan bahwa persoalan ini tidak bersifat insidental, melainkan struktural.
Publikasi sebagai Instrumen Administratif
Kebijakan yang menempatkan publikasi internasional sebagai syarat utama kenaikan jabatan pada dasarnya bertujuan mendorong produktivitas riset. Akan tetapi, ketika publikasi direduksi menjadi target administratif, orientasi keilmuan berisiko bergeser. Artikel ilmiah tidak lagi dipahami sebagai hasil proses intelektual yang jujur, melainkan sebagai alat memenuhi angka kredit.
Dalam konteks ini, relasi antara dosen senior dan mahasiswa pascasarjana menjadi sangat rentan. Ketergantungan mahasiswa pada pembimbing membuka ruang terjadinya relasi kuasa yang timpang. Ketika kepentingan karier dosen beririsan langsung dengan karya ilmiah mahasiswa, batas etika mudah dilanggar tanpa mekanisme koreksi yang memadai.
Kepengarangan dan Distorsi Etika Akademik
Salah satu isu krusial adalah praktik kepengarangan yang tidak berbasis kontribusi intelektual. Artikel yang bersumber dari tesis atau disertasi mahasiswa kerap menempatkan dosen senior sebagai penulis pertama, sementara mahasiswa bergeser ke posisi sekunder. Praktik ini sering dibenarkan atas nama budaya akademik atau penghormatan terhadap pembimbing.
Padahal, standar internasional secara tegas menyatakan bahwa urutan penulis mencerminkan besarnya kontribusi ilmiah. Pencantuman nama karena jabatan atau hierarki bukan hanya keliru, tetapi juga merusak fondasi etika akademik. Jika praktik ini dinormalisasi, maka institusi pendidikan tinggi secara tidak langsung melegitimasi pengambilalihan kerja intelektual.
Bayang-Bayang Ghostwriting
Indikasi penggunaan jasa penulisan pihak ketiga semakin memperjelas rapuhnya integritas proses akademik. Praktik ghostwriting menghilangkan prinsip akuntabilitas, karena penulis yang tercantum tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas isi karya.
Dalam perspektif yang lebih luas, fenomena ini menunjukkan komersialisasi akademik yang berbahaya. Ilmu pengetahuan tidak lagi lahir dari pergulatan intelektual, melainkan dari transaksi jasa. Jika dibiarkan, publikasi ilmiah akan kehilangan kredibilitasnya, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Sistem Penilaian yang Terlalu Longgar
Masalah mendasar lainnya terletak pada sistem penilaian jabatan fungsional yang masih menitikberatkan pada kuantitas. Jumlah publikasi dan indeks sitasi lebih mudah diukur dibandingkan integritas proses, tetapi justru di situlah letak kelemahannya. Minimnya audit kepengarangan dan verifikasi kontribusi membuat penyimpangan sulit terdeteksi.
Dalam sistem seperti ini, mahasiswa berada pada posisi paling rentan. Tanpa perlindungan pelapor yang jelas, mereka nyaris tidak memiliki ruang aman untuk menyampaikan keberatan. Ketakutan akan sanksi akademik membuat banyak persoalan etika terkubur dalam diam.
Tanggung Jawab Tata Kelola
Sebagai representasi negara dalam pengawasan pendidikan tinggi, lembaga layanan pendidikan tinggi memiliki peran strategis untuk memperkuat integritas akademik. Pengawasan tidak cukup dilakukan secara administratif, melainkan harus menyentuh substansi: audit kepengarangan, transparansi proses kenaikan jabatan, serta pemisahan peran pembimbing dan penilai.
Integritas akademik adalah kepentingan publik. Gelar profesor membawa legitimasi keilmuan yang memengaruhi kebijakan, opini publik, dan arah pengembangan ilmu. Ketika proses pencapaiannya diwarnai penyimpangan, kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan tinggi ikut dipertaruhkan.
Pada akhirnya, persoalan ini bukan tentang siapa yang bersalah, melainkan tentang sistem apa yang perlu dibenahi. Pendidikan tinggi hanya akan bermartabat jika kejujuran intelektual dijaga sejak proses, bukan sekadar dirayakan pada hasil.
( Oleh: Burhanuddin Muchammad/Aktivis pendidikan)
















