Oleh: R. Ario Jatmiko, SE
(Wakil Sekretaris DPD LPM Sulut & Pelaku Usaha Dunia Kreatif Nasional)
Di tengah percepatan arus informasi dan transformasi digital, pemberdayaan masyarakat di Indonesia menghadapi tantangan baru yang tak bisa diabaikan: generasi Z telah menjadi aktor dominan dalam lanskap sosial, ekonomi, dan budaya. Sebagai generasi digital native, Gen Z memiliki karakter yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya—mereka tumbuh dalam lingkungan yang serba cepat, dinamis, dan sangat tergantung pada teknologi. Di sinilah tantangan pemberdayaan masyarakat menemukan bentuk barunya.
Pemberdayaan masyarakat, yang selama ini identik dengan pendekatan konvensional seperti pelatihan tatap muka, program pemberian bantuan, dan kegiatan komunitas berbasis fisik, kini dituntut untuk mampu melakukan adaptasi dan inovasi. Gen Z tidak tertarik pada pendekatan yang bersifat top-down atau instruktif. Mereka lebih menyukai model partisipatif, kolaboratif, dan berbasis pengalaman.
Sebagai pelaku usaha kreatif nasional yang terjun langsung dalam ekosistem digital dan komunitas muda, saya melihat bahwa language barrier yang terjadi bukan hanya soal bahasa verbal, tetapi cara kita menyampaikan makna dan nilai. Gen Z tidak bisa dipisahkan dari visual, konten singkat, dan media sosial. Mereka tidak sekadar menonton, mereka menciptakan. Mereka tidak hanya mendengar, mereka merespons. Ini berarti, strategi pemberdayaan harus bertransformasi dari “mengajar” menjadi “mengajak”.
Di sini, dunia kreatif punya posisi strategis. Melalui pendekatan visual, storytelling, dan platform digital, pemberdayaan bisa dikemas menjadi sesuatu yang relevan dan menginspirasi. Misalnya, pelatihan kewirausahaan tidak lagi cukup hanya mengajarkan cara berjualan, tapi juga bagaimana membuat personal branding, membangun komunitas digital, hingga mengoptimalkan algoritma sosial media.
Namun tentu, transformasi ini bukan tanpa hambatan. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) di berbagai daerah masih terkendala pada keterbatasan sumber daya manusia yang adaptif terhadap teknologi, belum lagi minimnya sinergi lintas sektor dengan pelaku industri kreatif dan startup digital. Inilah PR besar kita bersama.
Tantangan utama kita bukan sekadar menjangkau Gen Z, tetapi menciptakan ruang-ruang pemberdayaan yang bermakna bagi mereka. Pemberdayaan haruslah berbasis pada realitas dan potensi lokal, tetapi dikemas dalam bahasa, medium, dan semangat zaman yang dimengerti anak muda hari ini.
LPM harus membuka diri terhadap kolaborasi dengan komunitas digital, kreator konten, pelaku UMKM kreatif, dan bahkan gamer sekalipun. Karena realitas hari ini, kekuatan transformasi tidak lagi berada di tangan yang kuat, tapi di tangan yang bisa beradaptasi dan terhubung.
Akhirnya, gerakan pemberdayaan masyarakat tidak boleh hanya menjadi rutinitas program, melainkan harus menjadi ruang eksplorasi, eksistensi, dan ekspresi, terutama bagi generasi muda. Jika kita tidak menjangkau mereka dengan cara mereka, maka kita akan kehilangan satu generasi yang sangat potensial untuk menjadi motor perubahan sosial ke depan.(*)